ESAI 

Quran dan Puisi Qurani

Mahrus Prihany, ketua KSI Tangsel dan pengurus di KSI pusat pada divisi kaderisasi dan organisasi.

 

Quran sebagaimana yang ummat Islam pahami secara umum sebagai bacaan suci yang bersifat qadim atau tak bermula dan tak berakhir tentulah suatu hal yang tak perlu diperdebatkan lagi. Penamaan kata Quran sendiri lebih bisa diterima banyak kalangan dan yang paling populer meski tentu banyak nama lain untuk kitab suci tersebut karena memang banyak pendapat di kalangan ulama bahkan atas penulisan atau penamaan kata Quran sendiri. Sederhananya memang ada perbedaan yang sangat mashur antara penulisan Quran dengan huruf hamzah dan tanpa huruf hamzah. Untuk lebih jauh tentang tersebut bisa membaca buku Membahas Ilmu-Ilmu Al-qur’an (DR. Subhi As Shalih, terjemahan cet ketujuh, 1999). Perbedaan tersebut tentulah akan menambah kekayaan bagi kita semua dalam menambah kosa kata kita.

Quran atau Al-Quran merupakan kalamullah atau ucapan Allah, maka sebagaimana dzat Allah yang diyakini tak memilki permulaan dan akhiran, begitu juga ucapanNya. Jika dikatakan bahwa Al-Quran adalah jadid atau baru, yang dimaksud adalah lafal-lafal yang dicetak dalam mushaf, yang diucapkan, dan yang didengar maka itu tidak qadim (Azyumardi Azra, editor, 1999). Pada titik berangkat inilah kita mampu menyelami dan menafsirkan Quran sebagai suatu susunan teks yang begitu indah dan puitik. Quran meski diturunkan dari Allah tetapi pesan-pesan dan segala yang terkandung di dalamnya diperuntukkan untuk manusia.

Manusia memiliki bahasa, dan Allah telah menurunkan Quran dalam bahasa arab yang bisa dipelajari oleh siapapun. Sebagai suatu lembaran yang tersusun rapi, Quran juga telah diterjemahkan atau lebih tepatnya ditulis dalam dwi bahasa, bahasa asli yaitu bahasa arab dan bahasa terjemahan lain seperti banyak yang kita baca.

Sebagai ucapan Allah tentu saja ummat Islam meyakini dan bersepakat bahwa tak ada yang mampu menandingi keindahan bahasa Quran. Tak akan ada manusia atau segala mahluk lain yang bahkan membuat suatu kalimat saja yang serupa dengan Quran. Keyakinan tersebut tentu saja makin menyadarkan kita untuk semakin belajar dan memahami Quran. Lahirlah banyak tafsir dan ilmu yang bersumber dari Al-Quran bahkan Quran adalah sumber dari segala sumber.

Kesucian dan keindahan Quran dilihat dari segi kebahasaan sangat kita junjung dan selalu tak ada habisnya untuk dipelajari dan dikaji. Bahasa Quran begitu puitis, estetis dan holistis. Coba kita abaikan dulu segala teori dan tafsir tentang Quran, anggaplah kita adalah seorang yang baru saja bisa membaca Al-Quran, atau lebih dari itu, kita adalah orang yang belum bisa membaca Al-Quran dalam bahasa arab tetapi membacanya dalam bahasa Indonesia, maka betapa kita akan mendapati betapa puitisnya ayat-ayat yang kita baca tersebut baik dalam susunan bunyi, struktur kata dan aspek sastra lainnya. Misal jika kita membaca surat-surat pendek atau yang kita kenal dengan surat-surat Makkiyah, betapa indahnya bunyi yang menggunakan rima di kata-kata akhir. Begitu juga saat kita membaca surat-surat Madaniyah yang ayat-ayatnya relatif panjang yang banyak menggunakan pola repetisi yang mencakup puitika, prosaik dan dramatik. Semakin kita akan meyakini bahwa bahasa yang digunakan Al-Quran sepenuhnya sastra, bahkan saat berbicara hukum, kisah, sejarah, kekuasaan, politik dan segala persoalan kehidupan serta jagat raya dan alam kemudian atau akhirat. Pembacaan awam ini baru didasarkan pada surface structure, maka akan lebih dahsyat lagi bagi mereka para ahli bahasa dan sastra yang mampu mengkajinya lebih jauh dengan menggunakan deep structure dengan perangkat ilmu sastra modern karena sesungguhnya Al-Quran penuh dengan simbol, kiasan, metafor, simile, dan narasi, lebih dahsyatnya lagi narasi tersebut bukan semata menekankan bahwa itu bersifat naratif tetapi lebih bersifat pendidikan dan pesan moral yang abadi yang tak habis digali (Ismail Raji Al-Faruqi, terjemahan 1999).

Sangat dimengerti jika paus sastra Indonesia H.B. Jassin pun sangat tergerak dan kemudian menulis buku Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia yang merupakan terjemahan puitis dari Al-Quran, meski buku sang kritikus tersebut mendapat respon beragam dari banyak kalangan yang bisa kita baca dalam Kontroversi Al-quranul Karim Bacaan Mulia (H.B Jassin, 2000).

 

Puisi Qurani

Puisi Qurani adalah puisi-puisi yang didasarkan pada Quran dengan berbagai aspeknya dengan pendekatan puisi. Quran sesungguhnya telah bersifat dan bermuatan sastra. Puisi Qurani ini tentu saja berbeda dengan terjemahan Quran atau tafsir yang mengharuskan kemampuan dan kriteria khusus yang luar biasa begitu ketat yang tidaklah mungkin bisa dilakukan sembarang orang. Sesungguhnya banyak sastrawan Indonesia telah menulis puisi yang indah dengan berdasarkan Quran. Untuk suatu penghormatan, saya bisa menyebut beberapa nama sastrawan masa kini seperti Abdul Hadi WM, Ahmadun Yosi Herfanda, Iberamsyah Al Barbary, Humam S Chudori dan H. Shobir Poer yang telah melahirkan banyak karya dalam bentuk puisi, mungkin hanya Humam S Chudori yang lebih banyak menuangkannya dalam genre prosa meski beliau juga menulis puisi. Tentu pada masa sebelumnya kita mengenal ciri khas yang kental pada karya Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji dan Amir Hamzah dalam corak puisi lama. Bagi kritikus dan pemerhati sastra tentu karya-karya mereka kemudian dikategorikan sebagai sastra sufistik, sastra profetik, atau sastra religius. Istilah puisi Qurani mungkin masih perlu pengkajian lebih dalam dan bisa jadi masih bisa diperdebatkan, justru ini bisa menjadi pemikiran bersama.

Sekadar menyebut judul sebuah buku Seratus Puisi Qurani 2016 yang terbit Oktober 2016 ini yang merupakan seleksi dari suatu gelaran lomba cipta puisi Qurani yang berhasil diseleksi dari 1195 judul puisi yang masuk dari 1195 penyair barangkali bisa menjadi titik tolak dari suatu istilah yang kita sebut puisi Qurani. Sekali lagi, hanya sebagai satu titik tolak, bukan sebagai suatu fase atau babakan baru, mungkin masih jauh dari itu walau bisa jadi akan berlanjut dan menjadi suatu warna dalam dunia puisi tanah air. Nasib dan takdir puisi Qurani tentu akan bergantung pada respon para sastrawan tanah air. Mungkin suatu ketika kita bisa mendapat satu pandangan baru dari Abdul Hadi WM, Maman S Mahayana, dan Chavchay Syaifullah yang telah menjadi juri pada gelaran lomba cipta puisi Qurani ini, tentu ini hanya sekadar harapan pribadi dan bukan suatu beban untuk mereka. Bagaimanapun kita semua yang mencintai sastra juga boleh memiliki kecenderungan atau bahkan kebebasan untuk berdiri pada sikap, prinsip, dan idealismenya sendiri meski tak dapat diingkari juga ada stream dan koridor yang mau tak mau harus kita ikuti atau bahkan kita langgar. Apakah nanti puisi Qurani akan menjadi sebuah sub genre baru atau hanya sekadar kisah dan cerita atau bisa jadi tenggelam masihlah bisa kita tunggu kemudian.

Barangkali apa yang dikatakan Chavchay Syaifullah saat menggelar lomba ini bisa menjadi sebuah pemikiran dasar awal bahwa puisi Qurani adalah puisi yang ditulis berdasarkan kajian Al-Quran, baik dari aspek kajian nilai, norma, sejarah, harapan, janji dan peringatan, maupun kisah-kisah kemanusiaan, kenabian, serta ketuhanan.

Tentu pernyataan di atas juga masih sangat umum dan multi interpretatif untuk memberi gambaran tentang puisi Qurani dan inilah indahnya sastra yang penuh dengan tafsir dan simbol. Hanya yang perlu digarisbawahi adalah tak semua dalam sastra adalah imaginasi, simbol dan kebebasan tanpa suatu sikap penghargaan. Saat kita telah memasuki suatu ruang dalam sastra terlebih berkaitan dengan sejarah, tetap ada rambu dan literatur yang perlu dicatat di sana. Harus ada pijakan yang kuat saat kita menyebut puisi Qurani. Dengan berdasar pada puisi-puisi dalam buku Seratus Puisi Qurani 2016 yang tentu saja beragam dan butuh pembacaan serta pengkajian khusus, tapi setidaknya bisa dilihat bahwa ada alur besar yang cukup seragam untuk mengambil suatu pendapat bila puisi Qurani adalah puisi yang didasarkan pada satu atau dua ayat Quran sebagai gagasan dan pesan sentralnya. Kecenderungan berikutnya adalah puisi-puisi ini bersifat tematik seperti pada puisi lain secara umum. Perbedaan mendasar adalah terletak pada sumber ide. Imaginasi pada puisi Qurani lebih berpijak pada realitas dengan objek yang jelas sementara pada puisi lain secara umum sangat mungkin lebih abstrak dan absurd atau bisa jadi bebas dan liar serupa keliaran seorang petualang. Tapi sesungguhnya puisi Qurani juga memiliki ruang yang begitu luas dan tak terbatas.

Related posts

Leave a Comment

twelve − four =